Kamis, 28 Mei 2015

biografi gusdur

Abdurrahman Wahid



Nama Lengkap : Abdurrahman Wahid
Profesi : -
Agama : Islam
Tempat Lahir : Jombang
Tanggal Lahir : Minggu, 4 Agustus 1940
Zodiac : Leo
Warga Negara : Indonesia

BIOGRAFI
Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 7 September 1940. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Adakhil yang berarti sang penakluk. Karena kata “Adakhil” tidak cukup dikenal, maka diganti dengan nama “Wahid” yang kemudian lebih dikenal dengan Gus Dur. Gus adalah panggilan kehormatan khas Pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti “abang atau mas”.

Gus Dur adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ia lahir dari keluarga yang cukup terhormat. Kakek dari ayahnya, K.H. Hasyim Asyari, merupakan pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sementara itu kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayahnya K.H. Wahid Hasyim merupakan sosok yang terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949, sedangkan ibunya Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denayar Jombang.

Gus Dur pernah menyatakan secara terbuka bahwa ia adalah keturunan TiongHoa dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan a Lok, yang merupakan saudara kandung dari Raden Patah (Tan Eng Hwa) yang merupakan pendiri kesultanan Demak. Tan a Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Puteri Campa yang merupakan Puteri Tiongkok yaitu selir Raden Brawijaya V. Berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis Louis Charles Damais, Tan Kim Han diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al Shini yang makamnya ditemukan di Trowulan.

Pada tahun 1944 Abdurrahman Wahid pindah dari kota asalnya Jombang menuju Jakarta, karena pada saat itu ayahnya terpilih menjadi ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang biasa disingkat “Masyumi”. Masyumi adalah sebuah organisasi dukungan dari tentara Jepang yang pada saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang mempertahankan kedaulatan Indonesia melawan Belanda. Ia kembali ke Jakarta pada akhir perang tahun 1949 karena ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama.

Gus Dur menempuh ilmu di Jakarta dengan masuk ke SD Kris sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Pada tahun 1952 ayahnya sudah tidak menjadi Menteri Agama tetapi beliau tetap tinggal di Jakarta. Pada tahun 1953 di bulan April ayah Gus Dur meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.

Pada tahun 1954 pendidikannya berlanjut dengan masuk ke sekolah menengah pertama, yang pada saat itu ia tidak naik kelas. Lalu ibunya mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan.

Setelah lulus dari SMP pada tahun 1957, Gus Dur memulai pendidikan muslim di sebuah Pesantren yang bernama Pesantren Tegalrejo di Kota Magelang. Pada tahun 1959 ia pindah ke Pesantren Tambakberas di Kota Jombang. Sementara melanjutkan pendidikanya, ia juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai seorang guru yang nantinya sebagai kepala sekolah madrasah.  Bahkan ia juga bekerja sebagai jurnalis Majalah Horizon serta Majalah Budaya Jaya.

Pada tahun 1963, ia menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk melanjutkan pendidikan di  Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November tahun 1963. Universitas memberitahu Gus Dur untuk mengambil kelas remedial sebelum belajar bahasa Arab dan belajar islam. Meskipun mahir berbahasa Arab, ia tidak mampu memberikan bukti bahwa sesungguhnya ia mahir berbahasa Arab. Ia pun terpaksa harus mengambil kelas remedial.

Pada tahun 1964 Gus Dur sangat menikmati kehidupannya di Mesir.  Ia menikmati hidup dengan menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menikmati menonton sepakbola. Gus Dur juga terlibat dengan Asosiasi  Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah dari asosiasi tersebut. Akhirnya ia berhasil lulus dari kelas remedialnya pada akhir tahun. Pada tahun 1965 ia memulai belajar ilmu Islam dan juga bahasa Arab. Namun Gus Dur kecewa dan menolak metode belajar dari universitas karena ia telah mempelajari ilmu yang diberikan.

Di Mesir, Gus Dur bekerja di Kedutaan Besar Indonesia. Namun pada saat ia bekerja peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S) terjadi. Upaya pemberantasan komunis dilakukan di Jakarta dan yang menangani saat itu adalah Mayor Jendral Suharto. Sebagai bagian dari upaya tersebut.  Gus Dur diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Ia menerima perintah yang ditugaskan menulis laporan.

Akhirnya ia mengalami kegagalan di Mesir. Hal ini terjadi karena Gus Dur tidak setuju akan metode pendidikan di universitas dan pekerjaannya setelah G 30 S sangat mengganggu dirinya. Pada tahun 1966 ia harus mengulang pendidikannya. Namun pendidikan pasca sarjana Gus Dur diselamatkan oleh beasiswa di Universitas Baghdad. Akhirnya ia pindah menuju Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun pada awalnya ia lalai, namun ia dengan cepat belajar. Gus Dur juga meneruskan keterlibatannya dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan sebagai penulis majalah Asosiasi tersebut.

Pada tahun 1970 ia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad. Setelah itu, Gus Dur ke Belanda untuk meneruskan pendidikan. Ia ingin belajar di Universitas Leiden, namun ia kecewa karena pendidikan di Universitas Baghdad tidak diakui oleh universitas tersebut. Akhirnya ia pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali lagi ke Indonesia pada tahun 1971.

Di Jakarta, Gus Dur berharap akan kembali ke luar negeri untuk belajar di Universitas McGill di Kanada. Ia pun bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Organisasi ini terdiri dari kaum intelektual  muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang bernama Prima dan Gus Dur menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Beliau berkeliling pesantren di seluruh Jawa.

Pada saat itu pesantren berusaha keras untuk mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan mengadopsi kurikulum pemerintah. Karena nilai-nilai pesantren semakin luntur akibat perubahan ini, Gus Dur pun prihatin dengan kondisi tersebut. Ia juga prihatin akan kemiskinan yang melanda pesantren yang ia lihat. Melihat kondisi tersebut Gus Dur membatalkan belajar ke luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.

Akhirnya ia meneruskan kariernya sebagai seorang jurnalis pada Majalah Tempo dan Koran Kompas. Tulisannya dapat diterima dengan baik. Ia mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan itu ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan seminar sehingga membuatnya sering pulang dan pergi antara Jakarta dan Jombang.

Meskipun kariernya bisa meraih kesuksesan namun ia masih merasa sulit hidup karena hanya memiliki satu sumber pencaharian. Ia pun bekerja kembali dengan profesi berbeda untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual  kacang dan mengantarkan es. Pada tahun 1974 ia menjabat sebagai Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng hingga tahun 1980. Pada tahun 1980 ia menjabat sebagai seorang Katib Awwal PBNU hingga pada tahun 1984. Pada tahun 1984 ia naik pangkat sebagai Ketua Dewan Tanfidz PBNU. Tahun 1987 Gus Dur menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia. Pada tahun 1989 kariernya pun meningkat dengan menjadi seorang anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. Dan hingga akhirnya pada tahun 1999 sampai 2001 ia menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.

Sebagai seorang Presiden RI, Gus Dur memiliki pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam menyikapi suatu permasalahan bangsa. Ia melakukan pendekatan yang lebih simpatik kepada kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mengayomi etnis Tionghoa , meminta maaf kepada keluarga PKI yang mati dan disiksa, dan lain-lain. Selain itu, Gus Dur juga dikenal sering melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial, yang salah satunya adalah mengatakan bahwa anggota MPR RI seperti anak TK.

Hanya sekitar 20 bulan Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI. Musuh-musuh politiknya memanfaatkan benar kasus Bulloggate dan Bruneigate untuk menggoyang kepemimpinannya. Belum lagi hubungan yang tidak harmonis dengan TNI, Partai Golkar, dan elite politik lainnya. Gus Dur sendiri sempat mengeluarkan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.

Sebelumnya, pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa.

Setelah berhenti menjabat sebagai presiden, Gus Dur tidak berhenti untuk melanjutkan karier dan perjuangannya. Pada tahun 2002 ia menjabat sebagai penasihat Solidaritas Korban Pelanggaran HAM. Dan pada tahun 2003, Gus Dur menjabat sebagai Penasihat pada Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional.

Tahun 2004, Gus Dur kembali berupaya untuk menjadi Presiden RI. Namun keinginan ini kandas karena ia tidak lolos pemeriksaan kesehatan oleh Komisi Pemilihan Umum.

Pada Agustus 2005 Gus Dur menjadi salah satu pimpinan koalisi politik yang bernama Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan Tri Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati, koalisi ini mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Pada tahun 2009 Gus Dur menderita beberapa penyakit. Bahkan sejak ia menjabat sebagai presiden, ia menderita gangguan penglihatan sehingga surat dan buku seringkali dibacakan atau jika saat menulis seringkali juga dituliskan. Ia mendapatkan serangan stroke, diabetes, dan gangguan ginjal. Akhirnya Gus Dur pun pergi menghadap sang khalik (meninggal dunia) pada hari Rabu 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada pukul 18.45 WIB.

Riset dan Analisa oleh Siwi P. Rahayu
PENDIDIKAN
  • 1957-1959 Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah
  • 1959-1963 Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur
  • 1964-1966 Al Azhar University, Cairo, Mesir, Fakultas Syari'ah (Kulliyah al-Syari'ah)
  • 1966-1970 Universitas Baghdad, Irak, Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab
KARIR
  • 1972-1974 Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Ashari, Jombang, sebagai Dekan dan Dosen
  • 1974-1980 Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng
  • 1980-1984 Katib Awwal PBNU
  • 1984-2000 Ketua Dewan Tanfidz PBNU
  • 1987-1992 Ketua Majelis Ulama Indonesia
  • 1989-1993 Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI
  • 1998 Partai Kebangkitan Bangsa, Indonesia, Ketua Dewan Syura DPP PKB
  • 1999-2001 Presiden Republik Indonesia
  • 2000 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Mustasyar
  • 2002 Rektor Universitas Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur, Indonesia
  • 2004 Pendiri The WAHID Institute, Indonesia
PENGHARGAAN
  • 2010 Lifetime Achievement Award dalam Liputan 6 Awards 2010
  • 2010 Bapak Ombudsman Indonesia oleh Ombudsman RI
  • 2010 Tokoh Pendidikan oleh Ikatan Pelajar Nadhlatul Ulama (IPNU)
  • 2010 Mahendradatta Award 2010 oleh Universitas Mahendradatta, Denpasar, Bali
  • 2010 Ketua Dewan Syuro Akbar PKB oleh PKB Yenny Wahid
  • 2010 Bintang Mahaguru oleh DPP PKB Muhaimin Iskandar
  • 2008 Penghargaan sebagai tokoh pluralisme oleh Simon Wiesenthal Center
  • 2006 Tasrif Award oleh Aliansi Jurnanlis Independen (AJI)
  • 2004 Didaulat sebagai “Bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang
  • 2004 Anugrah Mpu Peradah, DPP Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia, Jakarta, Indonesia
  • 2004 The Culture of Peace Distinguished Award 2003, International Culture of Peace Project Religions for Peace, Trento, Italia
  • 2003 Global Tolerance Award, Friends of the United Nations, New York, Amerika Serikat
  • 2003 World Peace Prize Award, World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan
  • 2003 Dare to Fail Award , Billi PS Lim, penulis buku paling laris "Dare to Fail", Kuala Lumpur, Malaysia
  • 2002Pin Emas NU, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, Indonesia.
  • 2002 Gelar Kanjeng Pangeran Aryo (KPA), Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XII, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia
  • 2001 Public Service Award, Universitas Columbia , New York , Amerika Serikat
  • 2000 Ambassador of Peace, International and Interreligious Federation for World peace (IIFWP), New York, Amerika Serikat
  • 2000 Paul Harris Fellow, The Rotary Foundation of Rotary International
  • 1998 Man of The Year, Majalah REM, Indonesia
  • 1993 Magsaysay Award, Manila , Filipina
  • 1991 Islamic Missionary Award , Pemerintah Mesir
  • 1990 Tokoh 1990, Majalah Editor, Indonesia
  • Doktor Kehormatan:
  • Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000
  • Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Perancis (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000)
  • Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002)
  • Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel (2003)
  • Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (2003)
  • Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003)

gusdur


Image result for gusdur

Senin, 25 Mei 2015

makalah masyarakat desa




BAB I
PENDAHULUAN
I.I. Latar Belakang
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup atau semi terbuka, dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan- hubungan antar entitas-entitas.   Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Masyarakat (society) merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan komuniti manusia yang tinggal bersama-sama. Boleh juga dikatakan masyarakat itu merupakan jaringan perhubungan antara berbagai individu. Dari segi perlaksaan, ia bermaksud sesuatu yang dibuat atau tidak dibuat oleh kumpulan orang itu.Masyarakat merupakan subjek utama dalam pengkajian sains sosial.Sehingga banyak sekali perbedaan-perbedaan yang kita temui tentang masyarakat di suatu wilayah yang satu dengan yang lainnya Contoh: masyarakat desa dengan kota yang memiliki ketergantungan yang berbeda sesuai dengan kondisi dan struktur masyarakatnya tersebut,apalagi dilihat dari tingkat kemajuan dan potensi SDM nya tentu sangat berbeda.


I.2 Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Masyarakat ?
2.      Apa saja karakteristik Masyarakat Pedesaan ?
3.      Apa saja Fungsi dan Potensi Masyarakat Pedesaan ?
4.      Bagaiman Etika dan Budaya Masyarakat Desa ?
5.      Apa saja Perbedaan antara Masyarakat Desa dan Kota ?
6.      Bagaiman Hubungan antara Desa-Kota dan Hubungan Pedesaan-Perkotaan ?
7.      Apa saja Faktor-faktor yang mempengaruhi Masyarakat Desa menetap di Kota ?

I.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian Masyarakat.
2.      Untuk mengetahui Karakteristik Masyarakat Pedesaan.
3.      Untuk mengetahui Fungsi dan Potensi Masyakat Pedesaan.
4.      Untk mengetahui Etika dan Budaya Masyarakat Desa.
5.      Untuk mengetahui Perbedaan antara Masyarakat Desa dan Kota.
6.      Untuk mengetahui Hubungan antara Desa-Kota dan Hubungan Pedesaan-Perkotaan.
7.      Untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi Masyarakat Desa menetap di Kota.




                                                                          BAB II
PEMBAHASAN

2.I. Definisi Masyarakat
Dalam Bahasa Inggris disebut Society, asal katanya Socius yang berarti “kawan”. Kata “Masyarakat” berasal dari bahasa Arab, yaitu Syiek, artinya “bergaul”. Adanya saling bergaul ini tentu karena ada bentuk–bentuk akhiran hidup, yang bukan disebabkan oleh manusia sebagai pribadi melainkan oleh unsur–unsur kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang merupakan kesatuan.
A. Masyarakat Pedesaan (masyarakat tradisional)
a) Pengertian desa/pedesaan
Yang dimaksud dengan desa menurut Sutardjo Kartodikusuma mengemukakan sebagai berikut: Desa adalah suatu kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan tersendiri.
Menurut Bintaro, desa merupakan perwujudan atau kesatuan goegrafi, sosial, ekonomi, politik dan kultur yang terdapat di tempat itu (suatu daerah), dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain.
Sedang menurut Paul H. Landis: Desa adalah penduduknya kurang dari 2.500
jiwa. Dengan ciri ciri sebagai berikut:
a.Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa.
b.Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan.
c.Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat
dipengaruhi alam seperti: iklim, keadaan alam ,kekayaan alam, sedangkan
pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan.
Dalam kamus sosiologi kata tradisional dari bahasa Inggris,Tradit ion artinya Adat istiadat dan kepercayaan yang turun menurun dipelihara, dan ada beberapa pendapat yang ditinjau dari berbagai segi bahwa, pengertian desa itu sendiri mengandung kompleksitas yang saling berkaitan satu sama lain di antara unsur- unsurnya, yang sebenarnya desa masih dianggap sebagai standar dan pemelihara sistem kehidupan bermasyarakat dan kebudayaan asli seperti tolong menolong, keguyuban, persaudaraan, gotong royong, kepribadian dalam berpakaian, adat istiadat, kesenian kehidupan moral susila dan lain-lain yang mempunyai ciri yang jelas.
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagai: kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari defenisi tersebut, sebetulnya desa merupakan bagian vital bagi keberadaan bangsa Indonesia. Vital karena desa merupakan satuan terkecil dari bangsa ini yang menunjukkan keragaman Indonesia. Selama ini terbukti keragaman tersebut telah menjadi kekuatan penyokong bagi tegak dan eksisnya bangsa. Dengan demikian penguatan desa menjadi hal yang tak bisa ditawar dan tak bisa dipisahkan dari pembangunan bangsa ini secara menyeluruh.
Memang hampir semua kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan pembangunan desa mengedepankan sederet tujuan mulia, seperti mengentaskan rakyat miskin, mengubah wajah fisik desa, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat, memberikan layanan social desa, hingga memperdayakan masyarakat dan membuat pemerintahan desa lebih modern.
Karena pada kenyataannya desa sekedar dijadikan obyek pembangunan, yang keuntungannya direguk oleh aktor yang melaksanakan pembangunan di desa tersebut: bisa elite kabupaten, provinsi, bahkan pusat. Di desa, pembangunan fisik menjadi indikator keberhasilan pembangunan. Karena itu, Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang ada sejak tahun 2000 dan secara teoritis memberi kesempatan pada desa untuk menentukan arah pembangunan dengan menggunakan dana PPK, orientasi penggunaan dananya pun lebih untuk pembangunan fisik. Menyimak realitas di atas, memang benar bahwa yang selama ini terjadi sesungguhnya adalah “Pembangunan di desa” dan bukan pembangunan untuk, dari dan oleh desa. Desa adalah unsur bagi tegak dan eksisnya sebuah bangsa (nation) bernama Indonesia.
Kalaupun derap pembangunan merupakan sebuah program yang diterapkan sampai kedesa-desa, alangkah baiknya jika menerapkan konsep: ”Membangun desa, menumbuhkan kota”. Konsep ini, meski sudah sering dilontarkan oleh banyak kalangan, tetapi belum dituangkan ke dalam buku yang khusus dan lengkap. Inilah tantangan yang harus segera dijawab.



b) Ciri-ciri Masyarakat desa  
Dalam buku Sosiologi karangan Ruman Sumadilaga seorang ahli Sosiologi
“Talcot Parsons” menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional
(Gemeinschaft) yang mengenal ciri-ciri sebagai berikut:
a.Afektifitas
ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolongnya tanpa pamrih.
b.Orientasi kolektifsifat ini merupakan konsekuensi dari Afektifitas, yaitu
mereka mementingkan kebersamaan , tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan.

c. Partikularisme
pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu. Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku untuk kelompok tertentu saja. (lawannya Universalisme).
d. Askripsi yaitu:
berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan. (lawanya prestasi).
e. Kekabaran(diffuseness)
Sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antara pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit. Masyarakat desa menggunakan bahasa tidak langsung, untuk menunjukkan sesuatu. Dari uraian tersebut (pendapat Talcott Parson) dapat terlihat pada desa-desa yang masih murni masyarakatnya tanpa pengaruh dari luar.






2.2  Karakteristik Masyarakat Pedesaan
a)      Memiliki hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas-batas wilayahnya.
b)      System kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan (gemeinschaft atau paguyuban)
c)      Sebagian besar warga masyarakat hidup dari pertanian. Pekerjaan-pekerjaan yang bukan pertanian merupakan pekerjaan sambilan (part time)
d)     Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencaharian, agama, adat-istiadat dan sebagainya.
e)      Masyarakat pedesaan identic dengan istilah ‘gotong-royong’ yang merupakan kerja sama untuk mencapai kepentingan-kepentingan mereka.
f)       Kehidupan keagamaan, sangat religius ( Religius trend)
g)      Jalan pikiran orang desa umumnya lebih praktis lebih mementingkan pada kekerabatan.
h)      Perubahan – perubahan sosial cenderung lebih lambat karena masyarakatnya tertutup terhadap pengaruh luar.
Secara umum, dalam kehidupan masyarakat di Pedesaan dapat kita lihat beberapa ciri kehidupan mereka, atau katakanlah beberapa karakteristik yang mereka miliki. Yang ini terutama diperlihatkan oleh Roucek dan Warren (1963:78) antara lain:
a)    Mereka memiliki sifat yang homogen dalam hal (mata pencaharian, nilai-nilai kebudayaan, serta dalam sikap dan tingkah laku).
b)    Kehidupan di desa lebih menekankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi. Artinya semua anggota keluarga turut bersama-sama terlibat dalam kegiatan pertanian ataupun mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga. Dan juga sangat ditentukan oleh kelompok primer. Yakni dalam memecahkan suatu masalah, keluarga cukup memainkan peranan dalam pengambilan keputusan final.
c)    Factor geografis sangat berpengaruh atas kehidupan yang ada (misalnya keterikatan anggota masyarakat dengan tanahatau desa kelahirannya)
d)    Hubungan sesame anggota masyarakat lebih intim dan awet daripada di kota, serta jumlah anak yang ada dalam keluarga inti lebih besar/banyak.
Apa yang oleh Roucek dan Warren kemukakan ini, tidak berarti bahwa ciri-ciri tersebut ada atau berlaku di setiap desa. Akan tetapi bisa saja salah satu atau beberapa ciri yang sudah tidak kelihatan, sebagai akibat perkembangan masyarakat itu sendiri. Jadi dengan kata lain, ciri-ciri di atas itu dikemukakan sebgai dasar pegangan kita dalam melihat atau mengamati pelbagai aspek kehidupan masyarakat desa yang sedang dalam perubahan saat ini.
Kemudian ada hal lain yang dirasa cukup penting untuk dikemukakan di sini, adalah mengenai apa yang disebut oleh Landis (1948:123-131) sebagai “Psychological Traits of Farm People”  yaitu kecenderungan-kecenderungan psikologis atau keperibadian daripada orang-orang desa. Kecenderungan –kecenderungan psikologis ini adalah:
a)    Mereka memiliki sifat menentang terhadap orang luar,selanjutnya memiliki sifat rendah diri yang sifat ini sebagai akibat adanya kemiskinan yang dialami, atau dengan kata lain mempunyai darjat kemakmuran yang rendah.
b)    Adanya sikap otoriter dari orang tua terhadap mereka yang lebih tua umurnya, sehingga akibatnya tidak ada kebebasan untuk mengemukakan pendapat.
c)    Ada kecenderungan bahwa yang dipikirkan adalah dirinya atau lingkungannya sendiri (tidak mau tahu dengan orang lain atau orang luar).
d)    Ada sifat konservatisme, di mana sifat ini muncul karena dilihat dari penghidupan pokok, adalah di bidang pertanian dengan resiko alam yang terlalu besar. Tentang sifat ini, (Scott 1981:39) mengatakan “…petani penanam padi,selalu mendapati dirinya tergantung kepada belas kasihan alam yang banyak ulahnya”.
e)    Mereka sangat toleran dengan nilai-nilai yang dimilikinya, dan sbaliknyain-toleran terhadap nilai-nilai yang dimiliki oleh kelompok lain
f)     Adanya sikap pasrah (terserah pada yang Maha Kuasa) yang mana sangat berbeda dengan sifat manipulasi.
g)    Punya sifat udik/pedalaman, dimana sifat ini sebagai akibat kurangnya kontak dengan dunia luar (kurangnya sarang transportasi dan komunikasi dsb).
Beberapa kecenderungan psikologis yang dikemukakan di atas secara umum itu, yang diangkat dari studi empirik, namun perlu diingat bahwa tidak semua kecenderunganini ada setiap masyarakat desa. Sebab ini akan sangat tergantung pada seberapa jauh tingkat perubahan (kemajuan) yang telah dicapai oleh masyrakat desa tertentu. Jadi dengan kata lain bisa disebut bahwa ada hubungan antara kecenderungan-kecenderungan psikologis orang desa dengan tingkat kemajuan masyarakat yang telah dicapai.
Pengetahuan kita tentang kecenderungan-kecenderungan psikologis semacam ini, akan mempunyai manfaat yang cukup besar, terutama dalam melakukan pendekatan terhadap masyarakat desa dalam rangka memperkenalkan suatu inovasi baru misalnya, atau memberi penyuluhan-penyuluhan pada mereka tentang masalah-masalah yang bagi mereka dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang penting bagi kehidupannya, ataupun dalam rangka kegiatan-kegiatan penelitian ilmu-ilmu social dan sebagainya.
Warga pedesaan, suatu masyarakat mempunyai hubungan lebih erat dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya. Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar system kekeluargaan. Penduduk masyarakat pedesaan umumnya hidup dari pertanian. Pekerjaan-pekerjaan disamping pertanian hanya pekerjaan sambilan saja karena bila tiba masa panen atau masa menanam padi, pekerjaan-pekerjaan sambilan segera ditinggalkan. Namun demikian, tidaklah berarti setiap orang memiliki tanah.
Mengingat hal itu semuanya, dipulau jawa dipulau jawa dikenal adanya empat macam kepemelikan tanah

a)      System milik umum atau milik communal dengan pemakaian beralih-alih
b)      sistem milik communal dengan pemakaian bergiliran
c)      Sistem communal dengan pemakain tetap
d)     System milik individu
Pada umumnya, penduduk pedesaan di Indonesia apabila ditinjau dari segi kehidupan, sangat terikat dan sangat tergantung dari tanah (earth-bond). Karena sama-sama tergantung pada tanah, kepentingan pokok juga sama sehingga mereka akan bekerja sama untuk mencapai kepentingan kepentingannya. Misalnya pada saat musim menanam tiba, mereka akan bersama-sama mengerjakannya. Hal itu dilakukan karena biasanya satu keluarga saja tidak akan cukup memiliki tenaga kerja untuk mengerjakan tanahnya. Sebagai akibat kerjasama ini, timbullah lembaga kemasyarakatan yang dikenal dengan nama gotong royonh, yang bukan merupakan lembaga yang sengaja dibuat. Pada masyarakat2 pedesaan tidak akan dijumpai pembagian kerja berdasarkan keahlian, tetapi biasanya pembagian kerja didasarkan pada usia, mengingat kemampuan fisik masinbg-masing dan juga atas dasar pembedaan kelamin.
Cara bertani sangat tradisional dan tidak efisien karena belum dikenalnya mekanisasi dalam pertanian. Biasanya mereka bertani semata-mata untuk mencapau kehidupannya sendiri dan tidak untuk dijual. Cara bertani yang demikian lazim dinamakan subsistence farming. Mereka puas apabila kebutuhan keluarga telah terpenuhi.
Golongan orag-orang tua pada masyarakat pedesaan umumnbya memegang peranan penting. Orang akan selalu meminta nasihat pada mereka apabila ada kesulitan-kesulitanyang dihadapai. Kesukarannya adalah golongan-golongan orang-orang tua itu mempunyai pandangan yang didasarkan pada tradisi yang kuat sehingga sukar untuk mengadakan perubahan-perubahan yang nyata. Pengendalian social masyarakat terasa sangat kuat sehingga perkembangan jiwa individu sangat sukar untuk dilaksanakan. Itulah sebabnya mengapa sulit sekali mengubah jalan pikiran yang social kea rah jalan pikiran yang ekonomis, yang juga disebabkan karena kurangnya lat-alat komunikasi. Alat komunikasi yang berkembang adalah desas-desus yang iasanya bersifat negative. Sebagai akibat dari system komunikasi yang sederhana tersebut, hubungan antara sesorang dengan orang lain dapat diatur dengan saksama. Rasa persatuan erat sekali yang kemudian menimbulkan saling mengenal dan saling menolong yang akrab.
Apabila ditinjau dari sudut pemerintahan, hubungan antara penguasa dan rakyat berlangsung tidak resmi.Segala sesuatu dijalankan atas dasar musyarwarah. Disamping itu, karena tidak adanya pembaguan kerja yang tegas, seorang penguasa sekaligus mempunyai beberapa kedudukan dan peranan yang sama sekali tidak dapat dipisah-pisahkan atau paling tidak sukar untuk dibeda-bedakan. Apalagi di desa yang terpencil sukar sekali membedakan kedudukan dengan peranan seorang kepala desa sebagai orang tua yang nasehatnya patut.dijadikan pegangan, sebagai seorang pemimpin unpacara adat dan lain sebagainya. Singkatnya, segala sesuatu disentralisasikan pada diri kepala desa tersebut.
Adapun keistimewaan-keistimewaan masyarakat pedesaan menurut SAJOGYO dan PUDJIWATI SAJOGYO dalam bukunya SOSIOLOGI PEDESAAN jilid 2 yaitu ;
1.      Sifat mengikat dan komunikasi tradisional
Jaringan-jaringan tradisional tidak hanya membawa pesan-pesan informasi yang paling berat di desa, tetapi di samping itu jaringan-jaringan ini sangat di karuniai dengan suatu rasa kewajiban-kewajiban timbal balik dan mengikat. Selain itu pula, komunikasi masyarakat pedesaan dikatakan masih tradisional karena komunikasinya pun lebih dekat dan cenderung face to face.
2.      Sifat-sifat para pemimpin terkemuka
Suatu analisa mengenai sifat-sifat latar belakang sosial dari para pemimpin terkemuka mengungkapkan bahwa ada beberapa sifat:
  • Para pemimpin terkemuka cenderung berusia 40 tahun atau lebih.
  • Mereka merupakan pemegang kunci dalam hubungan masyarakat di desa dengan dunia luar dan fungsi ini dipantulkan dalam hubungan mereka secara sistematis lebih tinggi pada media massa.
  • Mereka lebih kaya ( tetapi tidak pernah menampakkan kekayaannya ) daripada orang-orang yang mempunyai pengikut lebih sedikit.
  1. Berbagai kegiatan pertisipasi masyarakat
Kegiatan-kegiatan partisipasi masyarakat yang tumbuh dari bawah sebagai inisiatif dan kreasi yang lahir dari rasa kesadaran dan tanggung-jawab masyarakat mutlak perlu, sesuai dengan hakekat pembangunan desa yang pada prinsipnya dilakukan oleh masyarakat sendiri, dari dan untuk masyarakat dengan pengarahan, bimbingan pembinaan, bantuan dan pengawasan dan pemerintahan.
Arti pembangunan dalam kerangka partisipasi masyarakat ialah membangun manusia-manusia agar memiliki kepribadian. Dengan perpaduan antara berbagai kegiatan pemerintahan dan kegiatan partisipasi masyarakat dalam suatu mekanisme yang baik niscaya pembangunan desa akan dapat berhasil dalam rangka mempercepat proses pencapaian desa yang baik.
2.      Ada unit daerah kerja pembangunan ( UDKP )
Unit daerah kerja pembangunan ( UDKP ) adalah satu sistem perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, serta evaluasi pelaksanaan pembangunan wilayah yang menyeluruh dan terpadu pada tingkat kecamatan.
Tugas pokoknya yakni: memadukan keseluruhan kegiatan partisipasi masyarakat untuk mewujudkan suatu pembangunan desa yang menyeluruh, terpadu dan terkoordinasi.
Dengan penghasilan yang maih rendah seperti nelayan, pengrajin, petani dengan tanah sempit, petani penggarap, petani yang tak bertanah, pedagang kecil dan sebagainya.
Selain itu, ada beberapa masalah lain diantaranya :
  1. Dari segi keadaan masyarakatnya
  • Masih ada daerah-daerah pedesaan yang mengalami kekurangan pangan, kekurangan gizi, khsusnya anak-anak balita.
  • Masih banyak desa-desa yang berpenduduk jarang dan berpencar.
  • Keadaan tingkat kesehatan masyarakat yang masih rendah, mliputi juga perumahan, penyedian air, penerangan yang belum selayaknya.
  •  Adanya pemuda putus sekolah dan adanya kelompok pengangguran di sebabkan tidak memiliki keterampilan untuk mengolah potensi yang ada di desanya kemudian meninggalkan desa untuk mencari nafkah d kota, sehingga di beberapa daerah terasa adanya kekurangan tenaga kerja.
2.      Dari segi pemerintah desanya
  •  struktur serta aparatur pemerintahan desa termasuk lembaga penyalur pendapat masyarakat yang belum berfungsi sebagaimana mestinya.
  •  Pola penggunaan pemilikan serta penguasaan tanah yang belum mencerminkan jaminan pemerataan pendapatan.
  •  Belum mantapnya koordinas pelayanan pemerintahan yang dilaksanakan oleh berbagai unsur aparatur vertikal dan daerah.
3.      Dari segi geografisnya
  •  Desa-desa di pulau jawa dan bali pada umumnya berpenduduk padat, struktur pemerintahan desa relatif mantap sekalipun aparaturnya masih perlu di tingkatkan : keadaan prasarana relatif lebih baik. Pertambahan penduduk yang terus menerus, sedangkan perluasan areal pertanan tidak memungkinkan telah menimbulkan gejala kemerosotan lingkungan hidup. Usaha peningkatan tekhnologi pertanian serta menumbuhkan industri kecil dan rumah tangga erta usaha pemasaran angat diperlukan untuk menyerap tenaga kerja yang berlebihan dari sektor pertanian.
  • Di desa-desa di luar jawa dan bali, umumnya berpenduduk jarang, struktur pemerintahan desa dan aparaturnya maih perlu ditingkatkan. Pola pemukiman terpencar-pencar dan keadaan prasarana masih belum memadai. Di daerah ini masih terdapat kelompok penduduk yang hidup dari bercocok tanam dengan berpindah-pindah sehingga dapat merusak lingkungan hidup.
Potensi desa merupakan kemampuan yang mungkin dapat diaktifkan dalam pembangunan mencakup alam dan manusianya, serta hasil kerja manusia itu sendiri. Komponen-komponen potensi desa pada dasarnya meliputi unsur-unsur sebagai berikut :
1)      Alam
2)      Lingkungan hidup manusia
3)      Penduduk
4)      Usaha-usaha manusia
5)      Prasarana-prasarana yang telah dibuat
Sosial budaya masih merupakan faktor-faktor penyebab atau sebagai akibat dalam tingkat pertumbuhan suatu desa. Faktor-faktor sosial budaya manusia tersebut antara lain :
1)      Adat istiadat
2)      Kelembagaan
3)      Pendidikan
4)      Swadaya masyarakat dan gotong royong
Faktor-faktor hasil karya dan sosial budaya manusia satu sama lain, saling mempengaruhi stage of development desa.
Tujuannya: meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat serta tata lingkungan hidup yang baik di pedesaan dalam rangka mempercepat tercapainya desa yang baik.
Banyak masalah yang harus dipecahkan, khususnya dalam rangka pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang tercermin pada peningkatan pendapatan kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai mata percaharian.



2.3 Fungsi  Masyarakat Pedesaan
Desa memimiliki beberapa fungsi diantaranya:
  1. sebagai Hinter land atau daerah dukung berfungsi sebagai daerah pemberi bahan makanan pokok
  2. ditinjau dari segi ekonomi berfungsi sebagai lumbung bahan mentah (raw Material)
  3. ditinjau dari mata pencahariannya, desa dapat merupakan desa agraris, desa industri, desa nelayan dan lain sebagainya
 2.4 Etika dan Budaya Masyarakat Desa
1.       MASYARAKAT DESA DALAM TINJAUAN SOSIAL BUDAYA
Pengertian desa menurut kamus Poerwadarminta (1976) adalah:
sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan, kampung (di luar kota); dusun;… 2 dusun atau udik (dalam arti daerah pedalaman sebagai lawan dari kota);….”. Desa menurut kamus tersebut terutama dalam arti fisik. Lain lagi dengan istilah desa dalam rembug desa, yang berarti fisik, masyarakat dan pemerintahannya. Istilah lain yang memiliki pengertian hampir sama adalah village. Menurut The Random House Dictionary (1968), village adalah:
a small community or group of house in a rural  area usually smaller than a town and sometimes incorporated as a municipality
Definisi tersebut mengandung makna bahwa yang dimaksud dengan masyarakat kecil adalah masyarakat di daerah masyarakat pedesaan. Masyarakat kecil disebut juga rural community yang diartikan sebagai masyarakat yang anggota-anggotanya hidup bersama di suatu lokalitas tertentu, yang seorang merasa dirinya bagian dari kelompok, kehidupan mereka meliputi urusan-urusan yang merupakan tanggungjawab bersama dan masing-masing merasa terikat pada norma-norma tertentu yang mereka taati bersama.


2.      KARAKTERISTIK UMUM MASYARAKAT DESA
 Masyarakat desa selalu memiliki ciri-ciri atau dalam hidup bermasyarakat, yang biasanya tampak dalam perilaku keseharian mereka. Pada situasi dan kondisi tertentu, sebagian karakteristik dapat digeneralisasikan pada kehidupan masyarakat desa di Jawa. Namun demikian, dengan adanya perubahan sosial religius dan perkembangan era informasi dan teknologi, terkadang sebagian karakteristik tersebut sudah “tidak berlaku”. Berikut ini disampaikan sejumlah karakteristik masyarakat desa, yang terkait dengan etika dan budaya mereka, yang bersifat umum yang selama ini masih sering ditemui. Setidaknya, ini menjadi salah satu wacana bagi kita yang akan bersama-sama hidup di lingkungan pedesaan.
1.      Sederhana
Sebagian besar masyarakat desa hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan ini terjadi karena dua hal:
  1. Secara ekonomi memang tidak mampu
  2. Secara budaya memang tidak senang menyombongkan diri.
2.      Mudah curiga
Secara umum, masyarakat desa akan menaruh curiga pada:
  1. Hal-hal baru di luar dirinya yang belum dipahaminya
  2. Seseorang/sekelompok yang bagi komunitas mereka dianggap “asing”

3.    Menjunjung tinggi “unggah-ungguh”
Sebagai “orang Timur”, orang desa sangat menjunjung tinggi kesopanan atau “unggah-ungguh” apabila:
  1. Bertemu dengan tetangga
  2. Berhadapan dengan pejabat
  3. Berhadapan dengan orang yang lebih tua/dituakan
  4. Berhadapan dengan orang yang lebih mampu secara ekonomi
  5. Berhadapan dengan orang yang tinggi tingkat pendidikannya
4.      Guyub, kekeluargaan
Sudah menjadi karakteristik khas bagi masyarakat desa bahwa suasana kekeluargaan dan persaudaraan telah “mendarah-daging” dalam hati sanubari mereka.
5.          Lugas
“Berbicara apa adanya”, itulah ciri khas lain yang dimiliki masyarakat desa. Mereka tidak peduli apakah ucapannya menyakitkan atau tidak bagi orang lain karena memang mereka tidak berencana untuk menyakiti orang lain. Kejujuran, itulah yang mereka miliki.
6.      Tertutup dalam hal keuangan
Biasanya masyarakat desa akan menutup diri manakala ada orang yang bertanya tentang sisi kemampuan ekonomi keluarga. Apalagi jika orang tersebut belum begitu dikenalnya. Katakanlah, mahasiswa yang sedang melakukan tugas penelitian survei pasti akan sulit mendapatkan informasi tentang jumlah pendapatan dan pengeluaran mereka.
7.      Perasaan “minder” terhadap orang kota
Satu fenomena yang ditampakkan oleh masayarakat desa, baik secara langsung ataupun tidak langsung ketika bertemu/bergaul dengan orang kota adalah perasaan mindernya yang cukup besar. Biasanya mereka cenderung untuk diam/tidak banyak omong.
8.      Menghargai (“ngajeni”) orang lain
Masyarakat desa benar-benar memperhitungkan kebaikan orang lain yang pernah diterimanya sebagai “patokan” untuk membalas budi sebesar-besarnya. Balas budi ini tidak selalu dalam wujud material tetapi juga dalam bentuk penghargaan sosial atau dalam bahasa Jawa biasa disebut dengan “ngajeni”.
9.      Jika diberi janji, akan selalu diingat
Bagi masyarakat desa, janji yang pernah diucapkan seseorang/komunitas tertentu akan sangat diingat oleh mereka terlebih berkaitan dengan kebutuhan mereka. Hal ini didasari oleh pengalaman/trauma yang selama ini sering mereka alami, khususnya terhadap janji-janji terkait dengan program pembangunan di daerahnya. Sebaliknya bila janji itu tidak ditepati, bagi mereka akan menjadi “luka dalam” yang begitu membekas di hati dan sulit menghapuskannya. Contoh kecil: mahasiswa menjanjikan pertemuan di Balai Desa jam 19.00. Dengan tepat waktu, mereka telah standby namun mahasiswa baru datang jam 20.00. Mereka akan sangat kecewa dan selalu mengingat pengalaman itu.
10.  Suka gotong-royong
Salah satu ciri khas masyarakat desa yang dimiliki dihampir seluruh kawasan Indonesia adalah gotong-royong atau kalau dalam masyarakat Jawa lebih dikenal dengan istilah “sambatan”. Uniknya, tanpa harus dimintai pertolongan, serta merta mereka akan “nyengkuyung” atau bahu-membahu meringankan beban tetangganya yang sedang punya “gawe” atau hajatan. Mereka tidak memperhitungkan kerugian materiil yang dikeluarkan untuk membantu orang lain. Prinsip mereka: “rugi sathak, bathi sanak”. Yang kurang lebih artinya: lebih baik kehilangan materi tetapi mendapat keuntungan bertambah saudara.
11.  Demokratis
Sejalan dengan adanya perubahan struktur organisasi di desa, pengambilan keputusan terhadap suatu kegiatan pembangunan selalu dilakukan melalui mekanisme musyawarah untuk mufakat. Dalam hal ini peran BPD (Badan Perwakilan Desa) sangat penting dalam mengakomodasi pendapat/input dari warga.


12.  Religius
Masyarakat pedesaan dikenal sangat religius. Artinya, dalam keseharian mereka taat menjalankan ibadah agamanya. Secara kolektif, mereka juga mengaktualisasi diri ke dalam kegiatan budaya yang bernuansa keagamaan. Misalnya: tahlilan, rajaban, Jumat Kliwonan, dll.
3.      Cara Menyikapi atau Beradaptasi

1. Bersikap “andhap asor”
Sebagai “komunitas tamu” yang berasal dari luar komunitas masyarakat desa seyogyanya kita mengambil posisi yang “merendah” atau minimal “seimbang” sekalipun secara materi dan intelektualitas lebih tinggi mereka.
2. Bersahabat
Sifat arogan harus dikikis habis, diganti dengan perilaku yang bersahabat dan sumedulur(bersaudara). Sebagai tamu sudah semestinya tidak bersikap arogan dan menunjukkan sifat dan perilaku kekotaan.
3.      Menghargai
Sebagai reaksi atas sikap kekeluargaan dari masyarakat desa, sepantasnya kita juga menghargai mereka. Sikap menghargai ini dapat diberikan dalam hal:
  1. Memahami pola pikir mereka yang berbeda kontra dengan pola pikir kita
  2. Menerima pemberian sesuatu sebagai bentuk “tresno” (kasih sayang) mereka kepada kita.
  3. Memahami pola hidup mereka yang jauh berbeda dengan pola hidup kita
  4. 4.      Sopan santun
Dalam rangka mengikuti adat/istiadat/kebiasaan yang berlaku di desa maka sudah selayaknya kita menyesuaikan diri, diantaranya:
  • Dalam hal berpakaian, sebaiknya tidak mengenakan pakaian “ala kota”.
  • Dalam gaya hidup, sebaiknya tidak menunjukkan sikap yang menurut mereka “pamer materi”. Misalnya: ber-handphone ria ditengah-tengah mereka, ber-walkman ria sambil berbicara dengan mereka.
  • Dalam hal berbicara, sebaiknya tidak menggunakan kata-kata/kalimat yang hanya bisa dipahami oleh kalangan mahasiswa. Misalnya: bahasa Inggris/bahasa “ngilmiah”.
5.      Terbuka
Sebagai reaksi positif atas keterbukaan yang ditunjukkan oleh masyarakat desa maka seyogyanya kita juga menunjukkan sikap terbuka kepada mereka, misalnya:
  • Jika tuan rumah sudah berbicara apa adanya tentang menu makanan sehari-hari maka jika kita memang kurang suka sebaiknya “ngomong”. Contoh: Si A tidak suka makan mie. Sebaiknya ngomong ke tuan rumah daripada nggerundhel.
  • Jika keluar dari rumah pondokan sebaiknya menjelaskan secara terbuka: mau kemana, dengan siapa dan kapan pulang. Hal ini penting, karena biasanya mahasiswa sudah dianggap sebagai anak sendiri.
6.      Membantu tanpa pamrih
Mengacu pada karakteristik gotong-royong yang dimiliki masyrakat desa, maka sudah semestinya kita menyesuaikan dan mengikuti kebiasaan itu. Bekerja dan membantu masyarakat desa tanpa pamrih. Dengan senang hati mengikuti setiap acara tradisional (misal: kenduri) yang diadakan di desa. Sekalipun tetap memperhitungkan waktu kerja program COP.

7.      Tepat waktu
Demi menjaga kepercayaan masyarakat desa, sebaiknya perlu diperhatikan ketepatan waktu dalam setiap acara peretemuan yang melibatkan orang banyak. Hal ini sangat penting agar masyarakat desa juga menaruh kepercayaan kepada kita sehingga sosialisasi program dan keterlanjutan pelaksanaannya dapat terjaga.
8.      Silahturahmi
Sebagai “tamu asing” sudah menjadi kebiasaan yang lumrah jika kita harus melakukan silaturahmi (= memperkenalkan diri) kepada warga masyarakat desa agar didalam melakukan sosialisasi dan pelaksanaan program tidak mengalami hambatan hanya dikarenakan belum kenal. Silaturahmi ini dapat dilakukan secara formal maupun informal. Misal:
  • Ketika melakukan sosialisasi ketemu warga desa, sebaiknya langsung memperkenalkan diri (informal)
  • Perkenalan diri secara formal di Balai Desa (formal)
  1. 9.      “Srawung
Selama menjalankan program COP sebaiknya kita tetap menjaga hubungan baik dengan masyarakat desa sehari-hari. Jangan sekali-kali kita mengucilkan diri dan seolah membentuk kelompok “eksklusif  orang kota”.
10.  Gotong-royong
Partisipatif, ini kata kuncinya ! Dalam menjalankan program kerja jangan sampai meninggalkan prinsip dasar, yaitu PARTISIPASI MASYARAKAT. Pada dasarnya program dapat berjalan karena ada partisipasi, baik dari seluruh anggota kelompok maupun masyarakat setempat. Memunculkan minat berpartisipasi tidaklah mudah, karena itu dibutuhkan komitmen yang tinggi yang diawali dari diri sendiri.
11.  Demokratis
Mencermati iklim demokrasi yang juga sudah merambah di desa, hendaknya kita bersedia mengikuti proses yang berlangsung. Karena itu, dalam merencanakan dan melaksanakan program kita harus melibatkan BPD (Badan Perwakilan Desa). Ini juga berarti kita menghargai proses demokrasi dalam sebuah “lembaga” yang namanya desa.

12.  Religius
Menyikapi kenyataan ini, secara psikologis kita tidak perlu khawatir atau bahkan takut karena justru akan menyulitkan kita untuk bersosialisasi.  Sikap menghargai, itulah yang mesti kita kembangkan ! Kita mesti tahu diri disaat masyarakat desa sedang menjalankan ibadah agamanya. Karena itu dalam menyusun suatu kegiatan, pertimbangan faktor “lima waktu” sangat penting untuk diperhatikan.
B. Masyarakat Perkotaan
a) Pengertian Kota
Seperti halnya desa, kota juga mempunyai pengertian yang bermacam-macam
seperti pendapat beberapa ahli berikut ini:
I. Wirth
Kota adalah suatu pemilihan yang cukup besar, padat dan permanen,
dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya.
II. Max Weber
Kota menurutnya, apabila penghuni setempatnya dapat memenuhi
sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal.
III. Dwigth Sanderson
Kota ialah tempat yang berpenduduk sepuluh ribu orang atau lebih. Dari beberapa pendapat secara umum dapat dikatakan mempunyani ciri- ciri mendasar yang sama. Pengertian kota dapat dikenakan pada daerah atau lingkungan komunitas tertentu dengan tingkatan dalam struktur pemerintahan.
Menurut konsep Sosiologik sebagian Jakarta dapat disebut Kota, karena memang gaya hidupnya yang cenderung bersifat individualistik. Marilah sekarang kita meminjam lagi teori Talcott Parsons mengenai tipe masyarakat kota yang diantaranya mempunyai ciri-ciri:
a. Netral Afektif
Masyarakat Kota memperlihatkan sifat yang lebih mementingkan Rasionalitas dan sifat rasional ini erat hubungannya dengan konsep Gesellschaft atau Association. Mereka tidak mau mencampuradukkan hal-hal yang bersifat emosional atau yang menyangkut perasaan pada umumnya dengan hal-hal yang bersifat rasional, itulah sebabnya tipe masyarakat itu disebut netral dalam perasaannya.
b. Orientasi Diri
Manusia dengan kekuatannya sendiri harus dapat mempertahankan dirinya sendiri, pada umumnya dikota tetangga itu bukan orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan kita oleh karena itu setiap orang di kota terbiasa hidup tanpa menggantungkan diri pada orang lain, mereka cenderung untuk individualistik.
c. Universalisme
Berhubungan dengan semua hal yang berlaku umum, oleh karena itu
pemikiran rasional merupakan dasar yang sangat penting untuk Universalisme.
d. Prestasi
Mutu atau prestasi seseorang akan dapat menyebabkan orang itu diterima
berdasarkan kepandaian atau keahlian yang dimilikinya.
e. Heterogenitas
Masyarakat kota lebih memperlihatkan sifat Heterogen, artinya terdiri dari
lebih banyak komponen dalam susunan penduduknya.
b) Ciri-ciri masyarakat Perkotaan
Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat perkotaan, yaitu:
a. Kehidupan keagamaannya berkurang, kadangkala tidak terlalu dipikirkan
karena memang kehidupan yang cenderung ke arah keduniaan saja
b. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus
berdantung pada orang lain (Individualisme).
c. Pembagian kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas dan
mempunyai batas-batas yang nyata.
d. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih
banyak diperoleh warga kota.
e. Jalan kehidupan yang cepat di kota-kota, mengakibatkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu.
f. Perubahan-perubahan tampak nyata di kota-kota, sebab kota-kota
biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar.
2.2. Perbedaan antara desa dan kota
Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan (rural community) dan masyarakat perkotaan (urban community). Menurut Soekanto (1994), perbedaan tersebut sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana, karena dalam masyarakat modern, betapa pun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota. Perbedaan masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada hakekatnya bersifat gradual.

Kita dapat membedakan antara masyarakat desa dan masyarakat kota yang masing-masing punya karakteristik tersendiri. Masing-masing punya sistem yang mandiri, dengan fungsi-fungsi sosial, struktur serta proses-proses sosial yang sangat berbeda, bahkan kadang-kadang dikatakan "berlawanan" pula. Perbedaan ciri antara kedua sistem tersebut dapat diungkapkan secara singkat menurut Poplin (1972) sebagai berikut:
MASYARAKAT PEDESAAN
MASYARAKAT PERKOTAAN
Perilaku homogeny
Perilaku heterogen
Perilaku yang dilandasi oleh konsep
kekeluargaan dan kebersamaan
Perilaku yang dilandasi oleh konsep
pengandalan diri dan kelembagaan
Perilaku yang berorientasi pada
tradisi dan status
Perilaku yang berorientasi pada
rasionalitas dan fungsi
Isolasi sosial, sehingga static
Mobilitas sosial, sehingga dinamik
Kesatuan dan keutuhan cultural
Kebauran dan diversifikasi kultural
Banyak ritual dan nilai-nilai sacral
Birokrasi fungsional dan nilai-nilai
sekular
Kolektivisme
Individualisme

Warga suatu masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya. Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan (Soekanto, 1994). Selanjutnya Pudjiwati (1985), menjelaskan ciri- ciri relasi sosial yang ada di desa itu, adalah pertama-tama, hubungan kekerabatan. Sistem kekerabatan dan kelompok kekerabatan masih memegang peranan penting. Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari pertanian, walaupun terlihat adanya tukang kayu, tukang genteng dan bata, tukang membuat gula, akan tetapi inti pekerjaan penduduk adalah pertanian. Pekerjaan- pekerjaan di samping pertanian, hanya merupakan pekerjaan sambilan saja.
Golongan orang-orang tua pada masyarakat pedesaan umumnya memegang peranan penting. Orang akan selalu meminta nasihat kepada mereka apabila ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Nimpoeno (1992) menyatakan bahwa di daerah pedesaan kekuasaan-kekuasaan pada umumnya terpusat pada individu seorang kiyai, ajengan, lurah dan sebagainya.
Ada beberapa ciri yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk untuk membedakan antara desa dan kota. Dengan melihat perbedaan-perbedaan yang ada mudah-mudahan akan dapat mengurangi kesulitan dalam menentukan apakah suatu masyarakat dapat disebut sebagi masyarakat pedeasaan atau masyarakat perkotaan.
Ciri ciri tersebut antara lain:
a) Jumlah dan kepadatan pendudu
b) Lingkungan hidup
c) Mata pencaharian
d) Corak kehidupan social
e) Stratifiksi social
f) Mobilitas social
g) Pola interaksi social
h) Solidaritas social
i) Kedudukan dalam hierarki sistem administrasi nasiona
2.3. Hubungan Desa-kota, hubungan pedesaan-perkotaan.
Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komonitas yang terpisah sama sekali satu sama lain. Bahkan dalam keadaan yang wajar di antara keduanya terdapat hubungan yang erat. Bersifat ketergantungan, karena di antara mereka saling membutuhkan. Kota tergantung pada dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan pangan seperti beras sayur mayur, daging dan ikan. Desa juga merupakan sumber tenaga kasar bagi jenis-jenis pekerjaan tertentu di kota. Misalnya saja buruh bangunan dalam proyek proyek perumahan. Proyek pembangunan atau perbaikan jalan raya atau jembatan dan tukang becak. Mereka ini biasanya adalah pekerja-pekerja musiman. Pada saat musim tanam, mereka sibuk bekerja di sawah. Bila pekerjaan dibidang pertanian mulai menyurut, sementara menunggu masa panen mereka merantau ke kota terdekat untuk melakukan pekerjaan apa saja yang tersedia.
“Interface”, dapat diartikan adanya kawasan perkotaan yang tumpang- tindih dengan kawasan perdesaan, nampaknya persoalan tersebut sederhana, bukankah telah ada alat transportasi, pelayanan kesehatan, fasilitas pendidikan, pasar, dan rumah makan dan lain sebagainya, yang mempertemukan kebutuhan serta sifat kedesaan dan kekotaan.
Hubungan kota-desa cenderung terjadi secara alami yaitu yang kuat akan menang, karena itu dalam hubungan desa-kota, makin besar suatu kota makin berpengaruh dan makin menentukan kehidupan perdesaan.
Secara teoristik, kota merubah atau paling mempengaruhi desa melalui beberapa cara, seperti:
(i) Ekspansi kota ke desa, atau boleh dibilang perluasan kawasan perkotaan dengan merubah atau mengambil kawasan perdesaan. Ini terjadi di semua kawasan perkotaan dengan besaran dan kecepatan yang beraneka ragam
(ii) Invasi kota, pembangunan kota baru seperti misalnya Batam dan banyak kota baru sekitar Jakarta merubah perdesaan menjadi perkotaan. Sifat kedesaan lenyap atau hilang dan sepenuhnya diganti dengan perkotaan
(iii) Penetrasi kota ke desa, masuknya produk, prilaku dan nilai kekotaan ke desa. Proses ini yang sesungguhnya banyak terjadi
(iv) kooperasi kota-desa, pada umumnya berupa pengangkatan produk yang bersifat kedesaan ke kota. Dari keempat hubungan desa-kota tersebut kesemuanya diprakarsai pihak dan orang kota. Proses sebaliknya hampir tidak pernah terjadi, oleh karena itulah berbagai permasalahan dan gagasan yang dikembangkan pada umumnya dikaitkan dalam kehidupan dunia yang memang akan mengkota.
Salah satu bentuk hubungan antara kota dan desa adalah:
1) Urbanisasi dan Urbanisme
Dengan adanya hubungan Masyarakat Desa dan Kota yang saling ketergantungan dan saling membutuhkan tersebut maka timbulah masalah baru yakni; Urbanisasi yaitu suatu proses berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau dapat pula dikatakan bahwa urbanisasi merupakan proses terjadinya masyarakat perkotaan. (soekanto,1969:123 ).

2) Sebab-sebab Urbanisasi
1. Faktor-faktor yang mendorong penduduk desa untuk meninggalkan daerah
    kediamannya (Push factors).
2.4. Faktor-faktor yang ada dikota yang menarik penduduk desa untuk pindah dan
     menetap di kota.
Hal–hal yang termasuk “Push Factor” antara lain:
a. Bertambahnya penduduk sehingga tidak seimbang dengan persediaan lahan
pertanian.
b. Terdesaknya kerajinan rumah di desa oleh produk industri modern.
c. Penduduk desa, terutama kaum muda, merasa tertekan oleh oleh adat istiadat
yang ketat sehingga mengakibatkan suatu cara hidup yang monoton.
d. Didesa tidak banyak kesempatan untuk menambah ilmu pengetahuan.
       e. Kegagalan panen yang disebabkan oleh berbagai hal, seperti banjir, serangan hama, kemarau panjang, dsb. Sehingga memaksa penduduk desa untuk mencari penghidupan lain dikota.
-Hal–hal yang termasuk “Pull Factor” antara lain:
a. Penduduk desa kebanyakan beranggapan bahwa di kota banyak pekerjaan dan
    lebih mudah untuk mendapatkan penghasilan
b. Di kota lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan usaha kerajinan
    rumah menjadi industri kerajinan.
c. Pendidikan terutama pendidikan lanjutan, lebih banyak di kota dan lebih
    mudah didapat.
d. Kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan
    merupakan tempat pergaulan dengan segala macam kultur manusianya.
       e. Kota memberi kesempatan untuk menghindarkan diri dari kontrol sosial yang ketat atau       untuk mengangkat diri dari posisi sosial yang rendah ( Soekanti, 1969: 124-125 ).







BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia menjalani kehidupan di dunia ini tidaklah bisa hanya mengandalkan dirinya sendiri dalam artian butuh bantuan dan pertolongan orang lain, maka dari itu manusia disebut makhluk sosial, sesuai dengan Firman Allah SWT yang artinya: “Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (bersosialisasi).(Al-Hujurat :13 ). Oleh karena itu kehidupan bermasyarakat hendaklah menjadi sebuah pendorong atau sumber kekuatan untuk mencapai cita- cita kehidupan yang harmonis, baik itu kehidupan di desa maupun di perkotaan.
Sehubungan dengan itu, barangkali kita berprasangka atau mengira fenomena-fenomena yang terjadi di atas hanya terjadi di kota saja, ternyata problem yang tidak jauh beda ada didesa, yang kita sangka adalah tempat yang aman, tenang dan berakhlak (manusiawi), ternyata telah tersusupi oleh kehidupan kota yang serba boleh dan bebas itu disatu pihak masalah urbanisasi menjadi masalah serius bagi kota dan desa, karena masyarakat desa yang berurbanisasi ke kota menjadi masyarakat marjinal dan bagi desa pengaruh urbanisasi menjadikan sumber daya manusia yang produktif di desa menjadi berkurang yang membuat sebuah desa tak maju bahkan cenderung tertinggal.
B. Saran
Pembangunan Wilayah perkotaan seharusnya berbanding lurus dengan pengembangan wilayah desa yang berpengaruh besar terhadap pembangunan kota. Masalah yang terjadi di kota tidak terlepas karena adanya problem masalah yang terjadi di desa, kurangnya sumber daya manusia yang produktif akibat urbanisasi menjadi masalah yang pokok untuk diselesaikan dan paradigma yang sempit bahwa dengan mengadu nasib dikota maka kehidupan menjadi bahagia dan sejahtera menjadi masalah serius. Problem itu tidak akan menjadi masalah serius apabila pemerintah lebih fokus terhadap perkembangan dan pembangunan desa tertinggal dengan membuka lapangan pekerjaan di pedesaan sekaligus mengalirnya investasi dari kota dan juga menerapkan desentralisasi otonomi daerah yang memberikan keleluasaan kepada seluruh daerah untuk mengembangkan potensinya menjadi lebih baik, sehingga kota dan desa saling mendukung dalam segala aspek kehidupan.



                                                        

                                                       DAFTAR PUSTAKA
1.      Mubarok Achmad, DR. MA., Psikologi Dakwah, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1999.
2.  Mansyur, M. Cholil, Drs. Bc. HK.-Sosiologi, Jilid 1 dan II dikeluarkan oleh Bagian        Penerbitan Akademik Pajak & Keuangan Surabaya, juni 1977 – Surabaya
3.      sosiologi suatu pengantar, soerjono soekanto, tahun 2012 rajawali pers jakarta
4.      Sajogyo Pudjiwati, sosiologi pedesaan jilid II
5.   Mansyur, M. Cholil, Drs., sosiologi Masyarakat kota dan desa. USAHA NASIONAL, surabaya
6.      Leibo, Jefta, Drs ; Sosiologi Pedesaan. ANDI OFFSET, Yogyakarta, 1986.